Kemunculan
imamah dalam Syiah sebenarnya berawal dari rasa cinta dan penghormatan yang
berlebihan kaum ahlul bait kepada sahabat Ali yang merasa paling berhak
mewarisi kepemimpinan yang ditinggalkan oleh nabi Muhammad SAW. Imam yang ke
dua belas ini diyakinioleh kaum syiah telah mengalami dua kali masa ke-ghaib-an.
Ke ghaiban yang pertama terjadi pada tahun 260 H kemudian pemerintahannya
diwakilkan kepada empat imam pengganti yaitu: Umar Utsman bin Said Umar, Abu
Ja’far Muhammad bin Utsman bin Said, Abu Al Qosim Husain bin Ruh, dan yang
terakhir adalah Abu Hasan Ali bin Muhammad as Samary. Masa keghaiban yang
pertama ini disebut dengan ghaibah As Syughro. Sedangkan keghaiban yang kedua
terjadi pada tahun 329 H dimulai dari mangkatnya imam pengganti terakhir yaitu
Abu Hasan Ali bin Muhammad As Samary sampai waktu munculnya kembali imam yang kedua belas di akhir zaman.
Makalah ini akan
mencoba membahas konsep ghaibah sughra dan kubra pada masa Ali sampai sekarang,
mudah-mudahan makalah ini bisa menambah wawasan kita dan kita tidak tersesat
pada jalan-Nya. Amin...
Pembahasan
Sesungguhnya pada awal munculnya, tasyayyu’
(dukungan kepada Ali) hanyalah gerakan politik yang tidak terkait sedikitpun
dengan madzhab ataupun agama. Penggunaan term Syi’ah di masa Ali ra berkonotasi
setia dan membela . Tidak ada aqidah
khusus sebagaimana yang ada pada syi’ah saat ini.
Tasyayyu’ adalah satu laknat yang menjauhkan manusia dari agama Allah dan
menjerumuskan mereka kedalam agama iblis. Tasyayyu’ adalah bencana yang
dilimpahkan oleh Allah pada orang-orang yang akan dia panggang di atas kobaran
api neraka. Tasyayyu’ kulit luarnya adalah cahaya tetapi dalamnya adalah
kegelapan yang pekat.
Banyak
di antara sahabat RadhiyaallahAnhu telah membai’at Ali sebagai khalifah
setelah terbunuhnya khalifah Utsman ra. Hal ini terjadi karena mayoritas kaum
muslim telah membai’atnya. Karena itu tidak benar jika dikatakan bahwa para
sahabatlah pendiri syi’ah. Tetapi sebalikya mereka adalah dasar syura dan
keadilan. Sesungguhnya orang-orang yang membai’at Ali hanya terdorong motif
bahwa Ali lebih berhak daripada Mu’awiyah. Karena itu sepanjang pemerintahannya
Ali dan para pendukungnya tidak pernah mengafirkan kelompok lain dan tidak
memperlakukannya seperti memperlakukan orang-orang kafir , atau menganggap
mereka itu murtad. Begitu pula sikap kelompok lain terhadap Ali dan
pendukungnya. Jadi perbedaannya hanya dalam pandangan politik bukan Khilaf
madzhab atau aqidah. Telah disebutkan bahwa Ali ra menguburkan orang yang
didapatinya dari dua kelompok tanpa membedakan kelompok ini dan itu.
Akan
tetapi sekalipun demikian ada kelompok yang memiliki kepentingan dan tujuan
jahat mengklaim sebagai para pencinta Ahlul bait. Mereka dari kalangan yahudi
dan kaum munafikin yang menyembunyikan rencana jahatnya terhadap islam. Mereka
memanfaatkan situasi ini untuk mengobarkan api fitnah yang lebih dahsyat lagi.
Tidak lama, setelah terbunuhnya Ali ra berubahlah arah gerakan sebagian
pendukung Ali. Setelah bercorak politik murni ini kini menjadi gerakan
keagamaan dan madzhab.
Diantara
faktor yang mempengaruhi pergantian ini adalah kedengkian yahudi dan majusi
(Persia) terhadap islam. Karena islamlah yang telah menghancurkan dan mencabut
akar-akar yahudi dari jazirah Arab, negeri yang dianggap penting bagi yahudi,
mereka telah lama menetap di Madinah dan San’a (Yaman) dan sebagian ujung-ujung
jazirah Arab. Rasulullah SAW sebelum wafatnya telah berwasiat untuk
mengeluarkan yahudi dari jazirah arab, karena ditempat itu tidak boleh ada dua
agama. Maka Umar ra melaksanakan wasiat
beliau. Dia membersihkan jazirah arab dari kotoran dan kenajisan yahudi, tidak
seorangpun dari mereka yang diberi kesempatan hidup.
Adapun
Persia, mereka adalah bangsa yang kaya dan berkuasa, berada di atas
bangsa-bangsa. Mereka menamakan diri sebagai orang-orang merdeka dan tuan-tuan.
Manusia serta bangsa selain mereka adalah budak mereka. Dahulu, kebanyakan
bangsa Arab adalah pengikut mereka, dan Allah menghendaki jatuhnya Persia di
tangan bangsa Arab, tidak di tangan romawi yang selalu mengincarnya juga tidak
ditangan mongol yang menjadi tetangganya. Begitulah Persia yang benar,
kewibawaan, kerajaan dan kejayaannya dapat dihancurkan oleh umat yang berusia
muda dan berjumlah kecil, yang dipimpin oleh khalifah Ar-Rasyid Umar bin
Al-Khathab Radhiyallahu Anhu. Sungguh
tragis dan menyayat hati mereka, hina setelah jaya melanglang buana sebagai
‘sayyid’ dan ‘orang merdeka’.
Al-Khumaini,
ingin mengorbankan dendam lama, yang sudah terkubur di hati mereka dengan cara
mengunggulakan bangsa Iran atas bangsa Hijaz- secara terang-terangan pada waktu
zaman Rasulullah SAW dulu, dia berkata, “sesungguhnya aku mengakatan dengan
penuh keberanian bahwa bangsa Iran dengan jumlah jutaan pada saat ini adalah
lebih utama daripada bangsa Hijaz di masa Rasulullah SAW, dan daripada bangsa
kufah, Irak pada masa Amirul Mukminin Al-Husain bin Ali”.
Dari
sinilah tasyayyu’ mulai membawa pemikiran-pemikiran asing yang disusupkan,
madzhab agama dan politik, keduanya dibentuk dalam rupa cerita dan dongeng yang
menggambarkan kezaliman dan permusuhan yang diterima oleh Ahlul bait. Kemudian
mereka menempuh berbagai macam cara hingga mengeluarkan sebagian kaum muslimin
dari jalan kebenaran dengan tujuan agar dapat memecah belah jama’ah muslim.
Sungguh benar dan tepat orang yang mengatakan bahwa “tasyayyu’ adalah tempat
bagi setiap orang yang ingin menghancurkan islam.” Mereka bisa memuaskan
orang-orang bodoh dan pengikut mereka dengan iming-iming kaidah yang berbunyi,
“Sesungguhnya neraka itu diharamkan mengenai setiap orang Syi’i kecuali
sebentar saja.” Persis seperti ucapan orang-orang yahudi yang diceritakan dalam
Al-Qur’an, “kami sekali-kali tidak akan disentuh api neraka, kecuali selama
beberapa hari saja”. (Al-Baqarah: 80)
Tidak bisa dipungkiri dan
dibantah lagi, jika di dalam tubuh agama Islam terdapat benyak sekali golongan
atau aliran. Hal ini mungkin selaras dengan hadits Nabi:
"افترق اليهودى على احدى
وسبعين فرقة وافترقت النصارى على اثنتين وسبعين فرقة وتفترق امّتي على ثلاث وسبعين
فرقة"
Artinya : Golongan yahudi telah terpecah
belah menjadi 71 golongan, golongan nasrani telah telah terpecah menjadi 72
golongan dan umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan.
Terlepas
dari shahih atau tidaknya hadits ini, tetapi hadits ini sudah menjelaskan
kepada kita tentang adanya perpecahan di dalam agama Islam, bahkan Nabi
Muhammad Saw. menyebutkannya dengan kata Umatku. Ini berarti menandakan
walaupun terpecah belah tetapi mereka juga termasuk umatnya Nabi Muhammad SAW.
Kita
dapat menggolongkan aliran-aliran tersebut menjadi empat kelompok sesuai dengan
fakta yang sudah terjadi pada zaman sekarang. Pertama, kelompok Rasionalis yang
diusung oleh Mu'tazilah dengan pelopor yang terkenalnya Wasil bin Atha'. Kedua,
kelompok Tekstualis yang didengungkan oleh aliran Salaf yang memunculkan Ibnu
Taimiyah. Ketiga, kelompok pemikiran Sintesis yang dikembangkan oleh Abu Hasan
al-Asy'ari. Dan keempat, kelompok yang lahir karena politik seperti Khawarij
dan Syi'ah.
Tulisan
ini akan mencoba membahas kelompok yang keempat yaitu kelompok yang lahir
karena politik. Karena Khawarij sudah dibahas pada diskusi yang pertama, maka
kita sekarang akan terfokus pada Syi'ah. Tulisan ini akan mencoba khusus
menyorot tentang definisi, beberapa alirannya, dan inti pemikirannya.
Secara linguistik, ghaibah memiliki dasar kata
ghain, ya` dan ba`. Al-Ghaib adalah segala yang tersembunyi dari kita. Dalam
ayat al-Quran kita membaca “yu`minuna bil-ghaib”. Artinya, mereka beriman
kepada segala sesuatu yang tersembunyi dari mereka, seperti surga, neraka dan
hari kebangkitan. Al-Ghaibah juga memiliki arti segala yang tersembunyi.
Secara
terminologis, terdapat dua definisi berkenaan dengan kosakata tersebut: pertama,
beliau tidak hidup di tengah-tengah masyarakat sehingga mereka tidak mampu
untuk menemuinya, sebagaimana layaknya manusia biasa. yang jelas, definisi ini
tidak dapat dibenarkan karena sangat banyak orang-orang yang pernah berjumpa
dengan beliau, baik dari kalangan ulama Ahlussunnah maupun Syi’ah. Kami akan
membahas hal ini (pertemuan beberapa orang mulia dengan beliau) pada
pembahasan-pembahasan selanjutnya.
Kedua,
tersembunyi dari pandangan manusia kapan pun beliau inginkan dan beliau hidup
di tengah-tengah masyarakat umum. Oleh karena itu, beliau dapat dijumpai dan
melihat kita meskipun kita tidak mengenalnya.
Syiah Itsna ‘Asyariyah meyakini bahwa Allah
telah menunjuk dua belas imam untuk memimpin dunia dan juga menggantikan
peran-Nya dalam menjaga syariat dan hukum Allah. Kedua belas imam tersebut
secara berurutan dimulai dari
1. Abu Al Hasan Ali bin Abi Thalib bergelar (Al
Murtadho)
2. Abu Muhammad Al Hasan bin Ali (Az Zaky)
3. Abu Abdullah Al Husain bin Ali (Sayyid Al
Syuhada’)
4. Abu Muhammad Ali bin Al Husain (Zain Al
‘Abidin)
5. Abu Ja’far Muhammad bin Ali (Al Baqir)
6. Abu Abdullah Ja’far bin Muhammad (As Shodiq)
7. Abu Ibrahim Musa bin Ja’far (Al Kadhim)
8. Abul Hasan Ali bin Musa (Al Ridho)
9. Abu Ja’far Muhammad bin Ali (Al Jawwad)
10. Abul Hasan Ali bin Muhammad (Al Hadi)
11. Abu Muhammad Al Hasan bin Ali (Al ‘Asykari)
12. Abul Qosim Muhammad bin Al Hasan (Al Mahdi
Al Muntadhor).
Imam yang ke dua belas ini
diyakini oleh kaum syiah telah mengalami dua kali masa keghaibahan.
Muhammad bin Hassan al-Askari adalah
imam yang ditunggu-tunggu yang telah hilang dan akan muncul semula untuk
memerintah dan menghukum orang-orang yang melakukan kezaliman. Beliau telah
menghilangkan diri selama 65 tahun mulai tahun 264H hingga 329H. Pada waktu ini
orang Syiah hanya dapat menghubungi imam mereka melalui wakil-wakilnya yang
berjumlah empat orang yaitu Usman Ibnu Said al-Umri dan anaknya Muhammad Ibnu
Usmanm kemudian Husain Ibnu Ruh serta Ali Ibnu Muhammad al-Samiri. Zaman ini
dikenal dengan Ghaibah Sughra.
Kemudian disusul dengan Ghaibah Kubra setelah tahun 329H
hingga lahirnya Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu. Dalam masa ini, sesiapapun
tidak bisa menghubungi Imam Mahdi walaupun melalui wakil-wakilnya. Sebagian
dari persamaan dan perbedaan Syiah dengan Ahlussunnah yang lain;
A. Tidak ada
perbedaan antara Syiah Imamiyyah dan Ahlul Sunnah mengenai asas-asas agama yang
utama, yaitu Tauhid, Kenabian, dan Maad (Hari Kebangkitan).
B. Ahlul Sunnah dan Syiah Imamiyyah percaya
bahwa kedudukan manusia adalah lebih mulia dari para malaikat, meskipun makhluk
itu adalah al-Muqarrabun kepada Tuhan. Manusia dianugerahkan dengan hawa nafsu
dan rasio sehingga memiliki kebebasan berkehendak, berlainan dengan malaikat
yang dijadikan tanpa hawa nafsu.
C. Ahlul
Sunnah sependapat dengan Syiah imamiyah bahwa Ahlul Bait Nabi SAW mempunyai
kemuliaan, sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Ahzab:33, "Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai Ahlul Bayt dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya". menurut Muslim dalam Sahihnya, dan
al-Wahidi dalam Asbab an-Nuzulnya, yang dimaksudkan dengan Ahlul Bait ialah
Fatimah, Hasan, Husain dan Ali. Akan tetapi Ahlul Sunah berbeda pendapat dalam
keimaman Ali ra beserta keturunannya dan kemaksuman mereka.
D. Pada tata
cara berwudhu ada perbedaan antara Ahlul Sunah dan Syiah dalam mengartikan kata
"imsahu" pada Surat al-Maidah ayat 6, madzhab Syiah berpendapat bahwa
ketika berwudhu kaki wajib disapu, Sementara itu Ahlul Sunnah berpendapat cukup
hanya membasuhnya yang berpegang kepada sebuah Hadith Nabi "Neraka wail
bagi mata kaki yang tidak dibasahi air".
E. Ahlul
Sunnah membuang kata "Haiya 'ala khayral-'amal" (marilah melakukan
sebaik-baik amalan) dari azan yang asli dan menambah perkataan "as-solatu
khairun minam-naum" (sholat lebih baik daripada tidur) dalam azan subuh.
Sementara Syiah Imamiyyah menggunakan azan yang asli sebagaimana dilakukan di zaman
Rasulullah SAW dan khalifah Abu Bakar RA
F. Ahlul
Sunnah tidak mensyaratkan sujud di atas tanah dalam sembahyang, sementara syiah
Imamiyyah menyatakan sujud di atas tanah itu lebih utama karena manusia akan
lebih terasa rendah dirinya kepada Tuhan.
G. Keduanya sependapat
bahwa sholat jama' disyariatkan dalam islam, akan tetapi Ahlul Sunah
berpendapat sholat jama' hanya bisa di lakukan ketika ada halangan yang
dibenarkan oleh syariat juga, sementara madzhab Syiah membolehkan sholat jama'
tanpa adanya halangan.
H. Ahlul
Sunnah dan Syiah Imamiyyah bersetuju bahwa sholat tarawih tidak dilakukan pada
masa Rasulullah dan khalifah Abu Bakar. Sholat tarawih dalam mazhab ahlul Sunah
dimulai pada jaman kholifah Umar, sehingga Syiah menolak melakukan Sholat.
tarawih.
I. Ahlul
Sunnah menyatakan bilangan takbir Sembahyang Mayat ialah empat, sementara Syiah
Imamiyyah mengatakan lima takbir. Selain daripada itu, Ahlul Sunnah (Maliki,
Hanafi, dan Hanbali) berpendapat mayat hendaknya diletakkan ke atas lambung
kanannya dan mukanya menghadap Kiblat sebagaimana dilakukan ketika menanam
mayat. Sementara Syiah Imamiyyah dan Syafi'i berpendapat mayat hendaknya
ditelentangkan dan dijadikan kedua tapak kakinya ke arah Kiblat, jika ia duduk,
dia menghadap Kiblat.
Untuk membaca kembali dan
menilai secara objektif mengenai konsep imamah dalam Syi’ah Itsna ‘Asyariyah
maka pertama kali kita perlu melacak dari sumber sejarah tentang asal mula
kemunculan konsep ini, Juga dengan cara menimbang dan membaca kembali mengenai
landasan-landasan normatif baik berupa teks suci Al-Qur’an dan Hadits maupun
pendapat-pendapat yang dikeluarkan.
Tidak
dapat dipungkiri ketika kita mencoba membaca kembali melakukan kritik terhadap
konsep imamah ini terkadang kita terjebak dengan sebuah kebenaran relatif antar
dua kelompok yang berbeda pandangan. Sebut saja ketika kita ingin melakukan
kritik tentang landasan normatif imamah yang salah satunya berasal dari nash Al
Quran maka kita mau tidak mau akan dihadapkan pada sebuah realita kontradiksi
klasik antara kelompok Sunni dengan kelompok Syiah mengenai tafsir dan juga
ta’wil satu teks nash tersebut. Maka pada akhirnya kita pun harus rela berada
pada pihak kelompok yang berbeda jika memang ingin melihat kritik tersebut.
Namun ada juga celah dimana kita bisa membaca ulang konsep imamah secara
objektif tanpa terjebak dengan keberpihakan kepada satu golongan tertentu.
Karena banyak ulama’ yang mengatakan bahwa konsep imamah yang dibawa oleh Syiah
Itsna ‘Asyariyah terdapat banyak penyelewengan dari ajaran-ajaran pokok yang
sudah menjadi ijma’ seluruh umat islam.
Berdasarkan kepedulian utama para faqih imamiyah untuk memberi para
pengikut bimbingan praktis yang relevan dengan kelangsungan hidup mereka
dibawah otoritas-otoritas politis yang “zalim”, maka penting untuk
mengatakan dari pertama bahwa tidak ada diantara teks-teks klasik mengenai
prinsip-prinsip dasariah (ushul al-dien) mazhab imamah, seperti
ditela’ah untuk studi ini, yang membahas langsung kemungkinan, bahkan bukan
sebagai suatu faith accompli, otoritas temporal imamiah selama
ghaibahnya imam. Pembahasan semacam itu tentu akan melibatkan pengubahan tak
sah atas istilah-istilah doktrin imamiah, yang mutlak dikesampingkan disebabkan
oleh tidak adanya wakil yang langsung ditunjuk (al-naib al-khashsh) oleh
imam kedua belas.”perwakilan khusus” (al-niyabah al-khashshah), paling
tidak selama ghaibah sugra imam (873-941 M), dipandang sebagai kesinambungan
bimbngan yang secara eksplisit ditunjuk oleh imam. Dengan terjadinya ghaibah
sempurna imam (dari 941 M dan seterusnya), kesinambungan bimbingan untuk umat
melalui penunjukan seorang wakil khusus itu berakhir, sehingga tidak mungkin
lagi ada imamah konkret seorang “wakil khusus” melalui proses niabah
(perwakilan) sampai kembalinya imam gaib.
Adapun umat imamiyah, adalah logis bahwa ketiga pengalaman
keagamaan kaum imamiah- syahadah, ghaibah, dan taqiyyah- lebih kurang
telah meyakinkan umat untuk tidak mengantisipasi datangnya imam untuk
menegakkan pemerintahan islam sebelum datangnya kembali imam sang juru selamat
pada akhir zaman. Kebijaksanaan sikap diam dalam masalah politik secara
konsisten diikuti selama gaibnya imam, dan para pemimpin imamiyah tidak gagal
mengulang-ulang sabda-sabda Imam Al-Shadiq dalam hubungan ini. Mereka
mengingatkan kamu Syi’ah bahwa, meskipun benar bahwa Al-Qa’im ( Imam kedua
belas Imamiyah yang sedang masa Kegaibahannya sempurna) Diantara para imam yang
mampu menumbangkan pemerintah yang tidak adil, dia akan tampil hanya ketika
Allah memerintahkan dia untuk melakukan demikian. Hal ini tidak diragukan lagi
dinilai sebagai suatu jalan untuk meredakan ketidak sabaran kaum Syi’ah
sehubungan dengan penangguhan pemenuhan janji keadilan. Konsekuensinya, kaum
Syi’ah, mengikuti contoh para imam mereka, harus mencari jalan untuk mengakomodasikan
diri dengan fakta historis yang berupa hidup dibawah pemerintahan tak absah
para khalifah.
Kritik dan saran
Mazhab Syi’ah semuanya dilandaskan di atas kecintaan kepada Ahlul
bait, sebagaimana yang kami lihat loyal dan berlepas diri terhadap orang awam
(Ahli sunnah) adalah karena ahlul bait, berlepas diri dari sahabat yang paling
terdepan, tiga khalifah dan Aisyah binti Abu Bakar karena sikap mereka kepada
Ahlul bait. Yang mengakar didalam akal semua orang Syi’ah, baik yang muda
maupun yang tua, orang pintar maupun orang yang bodoh serta laki-laki maupun
perempuan adalah bahwa sahabat telah melakukan kedzoliman kepada Ahlul Bait,
menumpahkan darah mereka dan menghalalkan kehormatan mereka.
Penutup
Manusia adalah mahluk yang serba
tidak sempurna, oleh karena keterbatasannya itu, manusia tidak akan bisa
mencapai kebenaran yang mutlak, manusia hanya bisa berdiri disekitar kebenaran,
karena kebenaran yang haqiqi hanya milik Tuhan semata. Sifat keprimordialisan
ke-Ahlul Sunah-an atau ke-Syiah-n hanya akan mengakibatkan kerugian bagi kita
yang bedampak pada kejumutan berpikir saja, alangkah baiknya jika kita
menanggalkan segala atribut ketaasuban kita kemudian mengkajinya tanpa harus
membedakannya, mengambil apa yang baik dan meninggalkan apa yang kita anggap tidak
baik dari keduanya.
Menelurusi jejak-jejak Syi'ah memang tidak akan cukup dengan
tulisan dikertas polio yang terbatas ini. Mungkin kita akan membutuhkan
beratus-ratus lembar untuk menjelaskan secara detail dan terperinci. Banyak
sekali buku yang menjelaskan tentang aliran-aliran dalam Islam yang sudah
semestinyalah kita menelurusi dan meneliti tentang apa makna yang terkandung di
dalamnya. Mungkin tulisan ini bukanlah sebagai patokan yang harus kita ikuti,
karena apa yang dipaparkan mungkin banyak sekali kesalahan dan kekhilafan yang
seharusnya tidak dipaparkan di sini. Dan terakhir kita minta perlindungan
kepada-Nya agar kita selalu diteguhkan dengan kemanisan iman dan taqwa yang
menjadi arah dan tujuan kita, untuk mencari ridha-Nya. Amin